Minggu, 08 November 2009

Menuju 'La Grande Inter' Kedua


Rossi Finza Noor - detiksport


Milan - Tahun 1960-an, Inter Milan pernah merajai Italia dan Eropa. Tim tersebut dikenal dengan nama 'La Grande Inter' dan Inter yang ada sekarang bertekad untuk menjadi versi keduanya.

Di bawah arahan pelatih Helenio Herrera, Inter merengkuh tiga titel Seri A, yakni pada tahun 1963, 1965 dan 1966. Tak hanya itu, mereka juga sukses menjadi juara Eropa di tahun 1964 dan 1965, serta Piala Interkontinental, juga di tahun 1964 dan 1965.

"Jika kami bisa memenangi lima scudetto secara berurutan, maka kami bisa masuk ke dalam buku sejarah. Orang-orang bisa mulai membicarakan 'La Grande Inter' yang baru," ujar kapten Javier Zanetti di Football Italia.

Inter yang sekarang boleh saja sudah melebih capaian para pendahulunya untuk urusan scudetto--mereka sudah mendapatkan empat ttel berurutan. Tetapi lain halnya dengan kompetisi Eropa, di mana mereka selalu gagal untuk bisa mencapai final.

"Apakah kami bisa mencapai final Liga Champions? Itu adalah sebuah impian, tetapi kami harus melangkah setapak demi setapak."

"Kami harus lolos (dari fase grup) terlebih dahulu, lalu mari kita lihat sampai mana Inter yang ini bisa melangkah. Saya harus mengatakan bahwa kami belum pernah memiliki skuad sekomplet ini. Kami bisa melangkah jauh," tukasnya.

Sebagai informasi, Inter tahun 1960-an dipimpin oleh Angelo Moratti. Dia adalah ayah dari patron La Beneamata saat ini, Massimo Moratti. ( roz / roz )

TAK ADA YANG SEMPURNA


tak ada yang sempurna, mungkin kata-kataitulah yang pantas diucapkan untuk manusia yang congkak ini, yang berpikir seolah-olah dialah yang paling hebat dan dialah yang paling benar.Tapi ketika dia menyadarinya dia akan berhenti dari apa yang dianggapnya salah, mengerjakan apa yang dianggapnya betul.Seperti daun yang berguguran dari pohonnya. Yah, itulah manusia setelah menyadari kesalahannya dia akan berhenti melakukan kesalahan itu, tapi setelah kesalahan yang satu membawa kesalahan lainnya dia tak menyadari bahwa kesalahn itu telah dia ulangi.
Mungkin hari ini saya berpikir bahwa yabg benar adalah yang A, tapi besok bisa jadi pikiran saya mengelabui saya bahwa yang benar itu adalah B.Sebuah konsistensi sangat diperlukan dalam diri seorang manusia agar dia tidak terombang-ambing diterjang kuatnya arus dunia ini. Dan rasa takut tak kan pernah lari dari diri manusia, yang rasa takut itu sendiri adalah bukti seoang manusia melakukan kesalahan.Tapi bukan rasa takut itu yang diharapkan, tapi penyesalan dan mau mengakui kesalahan itu akan membuat manusia mendapat pelajaran yang berharga.
oleh karena itu saya berharap kita tidak sombong terhadap apa yang ada pada diri kita.Karena semua itu hanyalah titipan dari yang kuasa.Yang sempurna itu hanyalah Ia sang pencipta.dan kita hanyalah makhluk yang ingin sempurna tapi tidak bisa.
Ya Allah jadikanlah hambamu ini orang yang mensyukuri nikmat, insan yang selalu jujur walaupun itu pedih, dan hamba yang tidak akan mengulangi kesalahannya utuk kedua kalinya. Berikanlah hamba hidayahmu ya Allah.....

Minggu, 14 Juni 2009

detikcom : Rekor Caps di Depan Cannavaro

title : Rekor Caps di Depan Cannavaro
summary : Fabio Cannavaro berpeluang mencatatkan dirinya di buku rekor timnas Italia. Bek yang baru dibawa pulang Juventus itu tinggal butuh tiga laga lagi untuk bisa mematahkan rekor caps Paolo Maldini. (read more)

Minggu, 08 Maret 2009

We are Never Too Old to Learn


Seseorang menambahkan id saya dalam friendster-nya. Sejenak saya mengernyitkan kening membaca nama yang tertera di sana. Selintas, rasanya saya familiar dengan nama itu. Dengan sedikit penasaran, saya klik ikon yang terpampang untuk melihat profilnya. Aha, ternyata! Dia adik angkatan dari kampus saya. Membaca cv-nya, saya langsung mengambil kesimpulan: satu lagi well rounded man -sosok serba tahu dan serba bisa- saya temukan. Usia 25 tahun, pernah menduduki jabatan strategis di berbagai organisasi kampus, memiliki prestasi akademik memuaskan, cukup ahli dalam bidang pekerjaannya di kantor, memiliki usaha sendiri, aktif dalam jamaah dakwah, aktif juga di lembaga pengembangan manajemen dan kini kuliah lagi. Dan, telah menikah pula. Menilik hobi dan penilaian terhadap diri sendiri yang ia sebut di sana, saya juga menebak bahwa si adik kelas ini adalah seseorang yang visioner dan idealis. Perfect!

Adik kelas tersebut, menambah lagi jumlah "young well rounded man" di lingkaran hidup saya saat ini. Ya, saat ini saya memiliki cukup banyak kawan baik dengan usia rata-rata 5 tahun atau lebih di bawah saya. Mereka cerdas, memiliki berbagai kemampuan dan pengalaman serta berwawasan luas. Bersama mereka saya ngobrol tentang banyak hal. Berbagi. Saling memberi masukan. Diskusi. Dan mereka nyaris selalu dapat mengimbangi saya. Bahkan saya banyak sekali belajar dari mereka.

Sungguh, saya selalu appreciate terhadap para young well rounded man. Bahkan diam-diam saya iri dengan orang-orang muda yang ahli di bidangnya dan memiliki wawasan -minimal serba sedikit- luas di berbagai jenis keilmuan dan keahlian itu. Kadang saya mengeluh dalam hati, mengeluhkan diri saya sendiri: Lihat! Mereka, para pemuda dan pemudi berusia di bawah dua puluh lima tahun itu telah mengerti jauh lebih banyak darimu! Lihat! Para pemuda itu memiliki wawasan yang jauh lebih luas dibanding kamu! Lihat, mereka memiliki visi dan orientasi hidup matang dalam usia mereka yang masih sangat muda! Mereka sudah mulai merintis bisnis dan karirnya, juga keluarga, sejak usia dini. Sedang kamu? Hai, ke mana saja kamu selama ini? Apa saja yang telah kamu lakukan dalam hidupmu? Bisa apa kamu saat seusia mereka? Apa saja yang kamu mengerti dan telah kamu jalani saat berusia belasan dan dua puluhan? Prinsip apa yang telah kamu pegang dengan kokoh saat usia awal dua puluhan? Saya tersenyum sendiri. Getir!

Tidak! Bukan saya tidak melakukan apa-apa pada penggal-penggal usia itu. Saya melakukan banyak hal, tidak berdiam diri. Mencoba mengukir prestasi hidup. Hanya saja harus saya akui, saya membutuhkan waktu lebih lama untuk 'sekedar' mencari identitas diri. Dengan jujur harus saya katakan, saya mengalami banyak pergulatan batin yang lebih panjang dalam menentukan pilihan. Tentu saja, semua berkaitan dengan masa lalu, masa kecil dan gaya pendidikan yang pernah saya jalani. Tidak dapat dinafikan juga adalah faktor eksternal dan takdir. Semuanya bermuara pada satu realitas: Saat para well rounded man angkatan saya sudah mantap dengan visinya, mulai bergerak meretas jalan menuju cita-cita, saya masih berjibaku dengan diri sendiri. Saya masih trial and error. Saya masih sibuk dengan permasalahan-permasalahan emosi yang menguras habis energi! Dan kini, dalam usia menjelang tiga puluh tahun, teman-teman saya sudah banyak yang S-2, mantap dan prospektif dalam karir, menjalani kehidupan rumah tangga yang mapan dengan 2-3 anak.

Sedang saya? Lagi-lagi saya tersenyum getir. Tapi saya tahu, saya tidak sendirian. Ada banyak orang seperti saya: yang jalan hidupnya tidak lurus-lurus saja. Yang cara berpikirnya tidak langsung tepat, namun lebih banyak meraba-raba. Yang upayanya tertatih-tatih dan berulang kali jatuh bangun. Yang proses 'mengerti'nya tersendat-sendat. Bahkan, lebih banyak lagi yang diam, stagnan dan menjalani hidup apa adanya. Tanpa ambisi, orientasi apalagi visi. Tanpa usaha untuk menjadi lebih tahu dan lebih baik.

Apakah ini semacam apologi untuk berhenti dan menjalani apa adanya? Bukan! Ini hanya sebuah upaya untuk bersikap adil dan seimbang. Bahwa ada saat kita melihat ke atas, pada orang-orang yang lebih (dalam seluruh maknanya). Dan ada saat kita melihat ke bawah kepada orang-orang yang kurang atau setara dengan kita. Sementara itu, upaya untuk menjadi lebih mengerti dan lebih baik harus tetap dijalankan.

Dan saya pun teringat kembali pada seorang sahabat dari penggal masa lalu. Satu kalimat nasihatnya yang masih saya simpan hingga kini. Kalimat yang dia berikan saat saya merasa demikian stuck, nyaris putus asa dengan jalan hidup saya di usia menjelang dua puluh lima tahun waktu itu: We are never too old to learn. Tidak pernah ada kata terlalu tua untuk belajar. We are never too late to start. Tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai. Kalimat itu menyemangati saya untuk bangkit dan bergerak kembali. Mengambil berbagai macam kursus, memaksakan diri kuliah lagi, terjun dalam berbagai aktifitas publik dan membangun jaringan dalam lingkup yang lebih luas. Bukan hanya lingkungan kantor dan dakwah jamaah, tapi juga keilmuan lain dan komunitas lain. Kalimat yang sedikit banyak telah saya buktikan, bahwa dalam rentang lima tahun ini, telah banyak pencapaian berarti yang saya dapatkan, meski tidak sesuai dengan impian awal.

Ya! Bahwa, hidup kita (saya dan anda yang merasa tertatih dan tersendat) bergerak pelan, atau bahkan pernah mogok dan salah arah, itu adalah realitas yang mesti disadari dan diterima apa adanya. Namun usaha dan proses tidak pernah mengenal kata berhenti. Namun perjalanan untuk menjadi lebih mengerti, lebih paham, lebih baik, tidak pernah mengenal kata terlambat. Namun belajar tidak pernah mengenal kata terlalu tua. Kita hanya perlu menyadari dan menghujamkan dalam hati: bahwa kita, sampai usia berapa pun, tidak boleh berhenti belajar. Kita, sampai kapan pun, tidak boleh merasa puas dan cukup dengan apa yang telah dicapai. Hidup adalah proses, maka ia hanya akan bermakna dalam arti yang sesungguhnya jika dijalankan tahap-tahapnya. Seperti nasihat Prawoto Mangkusasmito, tokoh politik islam masa orde lama, dalam suratnya kepada anaknya.

"Perjuangan adalah suatu garis, suatu proses, bukan suatu titik. Yang ada ialah garis mendaki, garis menurun, garis mendatar. Pencapaian ialah suatu titik, yang segera akan dilalui, akan lenyap atau tumbuh, tergantung amal pemeliharaannya. Perjuangan adalah usaha penyempurnaan dan pemeliharaan yang tak kunjung putus selama hayat di kandung badan."

Maka sekali lagi: We are never too old to learn!

***

sumber: Bunga Rampai 10


7 Ciri 'Sok Tahu'

'Sok tahu' pada dasarnya adalah "merasa sudah cukup berpengetahuan" padahal sebenarnya kurang tahu. Masalahnya, orang yang sok tahu biasanya tidak menyadarinya. Lantas, bagaimana kita tahu bahwa kita 'sok tahu'? Mari kita mengambil hikmah dari Al-Qur'an. Ada beberapa ciri 'sok tahu' yang bisa kita dapatkan bila kita menggunakan perspektif surat al-'Alaq.

1. Enggan Membaca

Ketika disuruh malaikat Jibril, "Bacalah!", Rasulullah Saw. menjawab, "Aku tidak bisa membaca." Lalu malaikat Jibril menyampaikan lima ayat pertama yang memotivasi beliau untuk optimis. Adapun orang yang 'sok tahu' pesimis akan kemampuannya. Sebelum berusaha semaksimal mungkin, ia lebih dulu berdalih, "Ngapain baca-baca teori. Mahamin aja sulitnya minta ampun. Yang penting prakteknya 'kan?" Padahal, Allah pencipta kita itu Maha Pemurah. Ia mengajarkan kepada kita apa saja yang tidak kita ketahui.

Disisi lain, ada pula orang Islam yang terlalu optimis dengan pengetahuannya, sehingga enggan memperdalam. Katanya, misalnya, "Ngapain baca-baca Qur'an lagi. Toh udah khatam 7 kali. Mending buat kegiatan lain aja." Padahal, Al-Qur'an adalah sumber dari segala sumber ilmu, sumber 'cahaya' yang tiada habis-habisnya menerangi kehidupan dunia. Katanya, misalnya lagi, "Ngapain belajar ilmu agama lagi, toh sejak SD hingga tamat kuliah udah diajarin terus." Padahal, 'ilmu agama' adalah ilmu kehidupan dunia-akhirat.

2. Enggan Menulis

Orang yang sok tahu terlalu mengandalkan kemampuannya dalam mengingat-ingat dan menghafal pengetahuan atau ilmu yang diperolehnya. Ia enggan mencatat. "Ngerepotin," katanya. Seolah-olah, otaknya adalah almari baja yang isinya takkan hilang. Padahal, sifat lupa merupakan bagian dari ciri manusia. Orang yang sok tahu enggan mencatat setiap membaca, menyimak khutbah, kuliah, ceramah, dan sebagainya. Padahal, Allah telah mengajarkan penggunaan pena kepada manusia.

Di sisi lain, ada pula orang yang kurang mampu menghafal dan mengingat-ingat pengetahuan yang diperolehnya, tapi ia merasa terlalu bodoh untuk mampu menulis. "Susah," katanya. Padahal, merasa terlalu bodoh itu jangan-jangan pertanda kemalasan. Emang sih, kalo nulis buat orang lain, kita perlu ketrampilan tersendiri. Tapi, bila nulis buat diri sendiri, bukankah kita gak bakal kesulitan nulis 'sesuka hati'? Apa susahnya nulis di buku harian, misalnya, "Tentang ciri sok tahu, lihat al-'Alaq!"?

3. Membanggakan Keluasan Pengetahuan

Orang yang sok tahu membanggakan kepintarannya dengan memamerkan betapa ia banyak membaca, banyak menulis, banyak mendengar, banyak berceramah, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa pengetahuan yang ia peroleh itu semuanya berasal dari Allah. Ia mengira, prestasi yang berupa luasnya pengetahuannya ia peroleh berkat kerja kerasnya saja. Padahal, terwujudnya pengetahuan itu pun semuanya atas kehendak-Allah.

Mungkin ia suka meminjam atau membeli buku sebanyak-banyaknya, tetapi membacanya hanya sepintas lalu atau malah hanya memajangnya. Ia merasa punya cukup banyak wawasan tentang banyak hal. Ia tidak merasa terdorong untuk menjadi ahli di bidang tertentu. Kalau ia menjadi muballigh 'tukang fatwa', semua pertanyaan ia jawab sendiri langsung walau di luar keahliannya. Ia mungkin bisa menulis atau berbicara sebanyak-banyaknya di banyak bidang, tetapi kurang memperhitungkan kualitasnya.

4. Merendahkan Orang Lain Yang Tidak Sepaham

Bagi orang Islam yang sok tahu, siapa saja yang bertentangan dengan pendapatnya, segera saja ia menuduh mereka telah melakukan bid'ah, sesat, meremehkan agama, dan sebagainya. Bahkan, misalnya, sampai-sampai ia melarang orang-orang lain melakukan amal yang caranya lain walau mereka punya dalil tersendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai "Yang Maha Tahu", terlalu yakin bahwa pasti pandangan dirinyalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan yang lain pasti salah. Padahal, Allah Swt berfirman: "Janganlah kamu menganggap diri kamu suci; Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan." (an-Najm [53]: 32)

Muslim yang sok tahu cenderung menganggap kesalahan kecil sebagai dosa besar dan menjadikan dosa itu identik dengan kesesatan dan kekafiran! Lalu atas dasar itu dengan gampangnya ia mengeluarkan 'vonis hukuman mati'. Padahal, dalam sebuah hadits shahih dari Usamah bin Zaid dikabarkan, "Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka ia telah Islam dan terpelihara jiwa dan hartanya. Andaikan ia mengucapkannya lantaran takut atau hendak berlindung dari tajamnya pedang, maka hak perhitungannya ada pada Allah. Sedang bagi kita cukuplah dengan yang lahiriah."

5. Menutup Telinga dan Membuang Muka Bila Mendengar Pendapat Lain

Orang yang sok tahu tidak memberi peluang untuk berdiskusi dengan orang lain. Kalau toh ia memasuki forum diskusi di suatu situs, misalnya, ia melakukannya bukan untuk mempertimbangkan pendapat yang berbeda dengan pandangan yang selama ini ia anut, melainkan untuk mengumandangkan pendapatnya sendiri. Ia hanya melihat selayang pandang gagasan orang-orang lain, lalu menyerang mereka bila berlainan dengannya. Ia tidak mau tahu bagaimana mereka berhujjah (berargumentasi).

Di samping itu, orang yang sok tahu itu bersikap fanatik pada pendapat golongannya sendiri. Seolah-olah ia berseru, "Adalah hak kami untuk berbicara dan adalah kewajiban kalian untuk mendengarkan. Hak kami menetapkan, kewajiban kalian mengikuti kami. Pendapat kami semuanya benar, pendapat kalian banyak salahnya." Orang yang terlalu fanatik itu tidak mengakui jalan tengah. Ia menyalahgunakan aksioma, "Yang haq adalah haq, yang bathil adalah bathil."

6. Suka Menyatakan Pendapat Tanpa Dasar Yang Kuat

Muslim yang sok tahu gemar menyampaikan pendapatnya dengan mengatasnamakan Islam tanpa memeriksa kuat-lemahnya dasar-dasarnya. Ia suka berkata, "Menurut Islam begini.... Islam sudah jelas melarang begitu...." dan sebagainya, padahal yang ia ucapkan sesungguhnya hanyalah, "Menurut saya begini.... Saya melarang keras engkau begitu...." dan seterusnya. Kalau toh ia berkata, "Menurut saya bla bla bla....", ia hanya mengemukakan opini pribadinya belaka tanpa disertai dalil yang kuat, baik dalil naqli maupun aqli.

7. Suka Berdebat Kusir
Jika pendapatnya dikritik orang lain, orang yang sok tahu itu berusaha keras mempertahankan pandangannya dan balas menyerang balik pengkritiknya. Ia enggan mencari celah-celah kelemahan di dalam pendapatnya sendiri ataupun sisi-sisi kelebihan lawan diskusinya. Sebaliknya, ia tekun mencari-cari kekurangan lawan debatnya dan menonjol-nonjolkan kekuatan pendapatnya. Dengan kata lain, setiap berdiskusi ia bertujuan memenangkan perdebatan, bukan mencari kebenaran.

Itulah ciri2 orang yang sok tahu, oleh karena itu jika kita termasuk dalam salah satunya, maka cepat2 lah untuk bertaubat kepada allah.

ihs@n
sun_spezia@yahoo.com



sumber : eramuslim